Baru saja kita melakukan pesta demokrasi dengan memilih calon pemimpin Bangsa
Indonesia untuk 5tahun kedepan. 9 Juli 2014 merupakan torehan tinta sejarah bagi
Rakyat Indonesia
dalam menentukan nasibnya bukan hanya untuk diri sendiri melainkan untuk generasi -
generasi selanjutnya, apakah kita tetap ingin merasakan penderitaan yang
terjadi selama ini ataukah kita ingin melepaskan belenggu penjajahan yang sudah mengeruk habis
SDA dan SDM kita karena kehendak
perubahan Bangsa ini hanya bisa ditentukan oleh kita sendiri sebagai Bangsa
Indonesia.
Dan
kita adalah bangsa yang merdeka, tidak ada bangsa lain yang bisa menjajah bangsa kita!
Pemilihan umum saat ini
memunculkan beberapa prediksi - prediksi hasil perhitungan suara yang
dikeluarkan oleh beberapa lembaga survei atau yang biasa kita kenal dengan Quick Count.
Dengan terindikasi pemaksaan opini dengan
legitimasi – legitimasi yang ada, Quick Count saling memamerkan keakuratan datanya masing - masing,
menjadikan Quick Count
sebagai patokan dalam menentukan siapa pemenang pemilihan presiden tanpa berpatokan dengan Real Count yang dikeluarkan oleh KPU. Ditambah,
kurangnya penilaian obyektif dan terlihat memihak yang diberitakan beberapa media
baik elektronik maupun cetak. Inilah yang menjadi salah
satu pintu masuk intervensi asing dalam mengubah opini publik yang seakan -
akan pemenang Quick Count berarti dia yang menjadi pemenang Pemilu. Fakta ini diperkuat pernyataan
dukungan Negara – negara terhadap kemenangan salah satu calon presiden berpijak
kepada kemenangan suara di salah satu wilayah negara.
Dengan situasi yang tercipta
atas penggiringan opini publik hasil
Quick Count menyebabkan gejolak atmosfer politik di Indonesia menjadi
memanas dan mendorong pihak keamanan menaikan status siaga 1 bagi daerah -
daerah yang berpotensi timbul konflik perpecahan. Harus dipahami, data yang
dipamerkan oleh Quick Count hanya mengambil sampling dari beberapa TPS
saja bukan dari seluruh TPS yang tersedia, ini yang
membawa Bangsa ini berpotensi terpecah dan timbul konflik horizontal yang notabene
Quick Count
tidak cocok dengan budaya perpolitikan di Indonesia. Padahal, kitasama -
sama mengetahui di dalam Pancasila butir 3 disebutkan "Persatuan
Indonesia".
“Kedatangan kami di Bunderan HI
adalah sebagai panggilan anak bangsa kepada masyarakat atas derasnya intervensi asing dalam politik
Indonesia. Berdirinya kami disini karena kami bersetia untuk tetap
melawan setiap pola - pola yang akan mengakibatkan konflik perpecahan antara sesama
Rakyat Indonesia.”
Sikap kami karena
kami masih tetap terus menyakini bahwa bangsa ini akan tetap utuh bila
menjunjung tinggi eksistensi proklamasi 17 Agustus 1945 dimana kita sebagai
bangsa yang merdeka,
Pembukaan UUD 1945
yang menyatakan bahwa penjajahan diatas dunia harus dihapuskan,
Pancasila sebagai falsafah dan
Ideologi negara bukan sebagai pilar bangsa,
Berdikari dibidang ekonomi,
berdaulat dibidang politik dan berkepribadian di bidang budaya
(Trisakti Kemerdekaan).
Maka dari itu kami bersikap:
- Kita adalah bangsa yang merdeka sesuai apa yang termaktub didalam ruh teks proklamasi kemerdekaan.
- Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu segala bentuk penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
- Dengan kesadaran akan kesejahteraan, persatuan dan keadilan sudah seharusnya Rakyat Indonesia tidak terprovokasi atas upaya - upaya adu domba, sama halnya saat bangsa belanda memecah belah Nusantara yang kita kenal dengan politik devide et impera.
- Bahwa adanya Quick Count, sama saja kita membuka pintu pihak asing dalam merubah opini publik yang seolah - olah hasil Quick Count lebihakuratdibandingkan Real Count dari KPU.
Forum
Keluarga Besar Mahasiswa untuk Bangsa
Post a Comment